Indonesia disebut-sebut sebagai negara “gagal”. Kesimpulan ini dikeluarkan oleh organisasi nirlaba Fund For Peace pada Juni tahun 2012 setelah melihat posisi Indonesia dalam Indeks Negara Gagal yang terus saja menukik terjun ke bawah. Apa yang menjadi penyebabnya? Apa yang salah dengan Indonesia? Sekurang-kurangnya alasan tersebut mungkin bisa dicermati lagi dari hasil berikut.
Dari empat poin yang menjadi ikhtisar, hanya akuntabilitas publik yang mengalami kenaikan sekitar 0,68 poin dari tahun lalu. Indonesia menerapkan standar dan upaya yang baik dalam mengatasi persoalan ini. Tapi, juga tidak boleh membuat kita menutup mata terhadap masalah lain yang lebih besar sementara menggerogoti bangs.
Sebab tiga poin berikutnya yakni, kebebasan masyarakat sipil termasuk kebebasan beragama, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi serta transparansi: kondisinya terpuruk. Setidaknya, inilah alasan yang sangat jelas bagi kita setelah melihat situasi Indonesia belakangan ini.
Pertanyaan selanjutnya mungkin relatif sulit dijawab. Adakah faktor yang menjelma sebagai hegemoni kegagalan dan kemerosotan setiap jengkal Indonesia yang telah diruwat dengan susah payah?
Oleh karenanya, saya tidak habis pikir mengapa beberapa oknum kepemimpinan pemuda hari ini –kebanyakan di Partai Politik dan Parlemen- malah terjerat kasus korupsi. Belum siapkah mereka memimpin Indonesia yang sedemikian majemuk ini? Korupsi telah menjadi ladang kebangkrutan bangsa.
Belum lagi, fakta keberadaan pragmatisme dan fanatisme golongan yang primordial sempit menguasai. Sedikit-sedikit terjadi konflik, perkelahian, tawuran, dan sejumlah kasus kekerasan yang melibatkan pemuda. Padahal, pemuda selayaknya menjadi “kawah candradimuka” seperti kata Soekarno. Pemuda pada hakikatnya dibekali pemikiran yang jernih saat semua terjebak dengan pemikiran mainstream.
Spirit Sumpah Pemuda
Rasanya kita perlu untuk menjejak kembali hakikat persoalan pemuda Indonesia. Banyak yang telah dicatat dengan tinta emas oleh sejarah masa lalu. Sudah saatnya, untuk mengingatkan mereka kembali –termasuk saya- pada peristiwa bersejarah nan menggugah yang terjadi puluhan tahun silam: Sumpah Pemuda.
Niatan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa merdeka dan berdaulat sudah bulat dalam dada pemuda ketika itu. Meskipun Indonesia masih berupa wilayah imaji dari Hindia-Belanda. Sumpah Pemuda memang tidak diformulasikan untuk waktu sempit 28 Oktober 1928 saja. Visi Sumpah Pemuda jauh ke depan melampaui masanya.
Romantisme histori bukanlah tujuan, tetapi spirit yang terus berkobar kita coba cecap bersama. Pertama, spirit semangat untuk bersatu dalam perbedaan. Para pemimpin Jong dan berbagai pemimpin organisasi kepemudaan pada ketika itu tidak menggiring kesukuaan dan asal daerah. Identitas ditanggalkan untuk sebuah harapan baru.
Kedua, spirit untuk tidak larut dalam berbagai persoalan. Para pemuda ingin melepaskan diri dari jerat kolonialisme dan komitmen kesatuan diantara mereka adalah syaratnya. Kita menyimpulkan, merekalah pionir kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya setelah organisasi nasionalis Boedi Oetomo.
Kedua spirit itu secara bersamaan dan terus saja menerus “Menjadi Indonesia”. Sebab itulah proses yang mesti dijalani. Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada masa umurnya masih 27 tahun: puncak pemudaannya.
Upaya menuju klimaks begitu mendebarkan dan menggetarkan nurani kemerdekaan tatkala Soekarno merumuskan dan membahas konsep pandangan hidup atau filsafat calon negara Indonesia di depan peserta rapat Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Daam rapat tersebut dipaparkanlah wajibnya Indonesia memiliki “sesuatu” yang universal:Weltanschauung, yang “kita semua setujui.
Semua usaha dan upaya tersebut, klimaksnya berujung dan berwujud yuridis formal pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agusutus 1945, yang apabila ditilik dari sisi peran pemuda sejak 1908, sejatinya merupakan formalisasi -meminjam istilah Aria Bima Sugiarto- apresiasi kultural dan politis dari spirit Sumpah Pemuda.
Bangga “Menjadi Indonesia”
Mereka yang menjadi penggagas dan pengikrar “Soempah Pemuda”, kemudian hari bahkan menjadi pemimpin bersih dan berwibawa di masa awal kemerdekaan. Tidak ada yang tidak mungin dilakukan bilamana pemuda bersatu melebur dalam cita-cita luhur, “Bangsa Yang Satoe”: Bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda digerakkan dan menggerakkan cita-cita itu, sebuah harapan, dan pula sebuah rancangan tentang “Tanah Air Yang Satoe”: Tanah Air Indonesia. Disuara-lantangkan bersama-sama dengan “Bahasa Yang Satoe, Bahasa Persatoean”: Bahasa Indonesia
Jejeran tujuh belas ribu pulau yang menggenapi Indonesia sudah barang tentu memiliki unsur pembentuk yang tidak sama. Berbeda antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, atau bahkan eksotisme Papua.
Ada tata simbolik yang mempersatukan para pemuda Indonesia, sekali lagi: Sumpah Pemuda beserta spiritnya. Harapan terbesarnya, spirit tersebut juga harusnya ditanamkan dan dimaknai kembali dalam kehidupan kekinian. Sebab pemuda hari ini, zaman dan kompleksitas masalahnya begitu jauh berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar