Jumat, 09 November 2012

DEMOKRASI DAN SPIRIT SOEMPAH PEMOEDA

Indonesia disebut-sebut sebagai negara “gagal”. Kesimpulan ini dikeluarkan oleh organisasi nirlaba Fund For Peace pada Juni tahun 2012 setelah melihat posisi Indonesia dalam Indeks Negara Gagal yang terus saja menukik terjun ke bawah. Apa yang menjadi penyebabnya? Apa yang salah dengan Indonesia? Sekurang-kurangnya alasan tersebut mungkin bisa dicermati lagi dari hasil berikut.
Dari empat poin yang menjadi ikhtisar, hanya akuntabilitas publik yang mengalami kenaikan sekitar 0,68 poin dari tahun lalu. Indonesia menerapkan standar dan upaya yang baik dalam mengatasi persoalan ini. Tapi, juga tidak boleh membuat kita menutup mata terhadap masalah lain yang lebih besar sementara menggerogoti bangs.
Sebab tiga poin berikutnya yakni, kebebasan masyarakat sipil termasuk kebebasan beragama, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi serta transparansi: kondisinya terpuruk. Setidaknya, inilah alasan yang sangat jelas bagi kita setelah melihat situasi Indonesia belakangan ini.
Pertanyaan selanjutnya mungkin relatif sulit dijawab. Adakah faktor yang menjelma sebagai hegemoni kegagalan dan kemerosotan setiap jengkal Indonesia yang telah diruwat dengan susah payah?
Oleh karenanya, saya tidak habis pikir mengapa beberapa oknum kepemimpinan pemuda hari ini –kebanyakan di Partai Politik dan Parlemen- malah terjerat kasus korupsi. Belum siapkah mereka memimpin Indonesia yang sedemikian majemuk ini? Korupsi telah menjadi ladang kebangkrutan bangsa.
Belum lagi, fakta keberadaan pragmatisme dan fanatisme golongan yang primordial sempit menguasai. Sedikit-sedikit terjadi konflik, perkelahian, tawuran, dan sejumlah kasus kekerasan yang melibatkan pemuda. Padahal, pemuda selayaknya menjadi “kawah candradimuka” seperti kata Soekarno. Pemuda pada hakikatnya dibekali pemikiran yang jernih saat semua terjebak dengan pemikiran mainstream.

Spirit Sumpah Pemuda
Rasanya kita perlu untuk menjejak kembali hakikat persoalan pemuda Indonesia. Banyak yang telah dicatat dengan tinta emas oleh sejarah masa lalu. Sudah saatnya, untuk mengingatkan mereka kembali –termasuk saya- pada peristiwa bersejarah nan menggugah yang terjadi puluhan tahun silam: Sumpah Pemuda.
Niatan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa merdeka dan berdaulat sudah bulat dalam dada pemuda ketika itu. Meskipun Indonesia masih berupa wilayah imaji dari Hindia-Belanda. Sumpah Pemuda memang tidak diformulasikan untuk waktu sempit 28 Oktober 1928 saja. Visi Sumpah Pemuda jauh ke depan melampaui masanya.
Romantisme histori bukanlah tujuan, tetapi spirit yang terus berkobar kita coba cecap bersama. Pertama, spirit semangat untuk bersatu dalam perbedaan. Para pemimpin Jong dan berbagai pemimpin organisasi kepemudaan pada ketika itu tidak menggiring kesukuaan dan asal daerah. Identitas ditanggalkan untuk sebuah harapan baru.
Kedua, spirit untuk tidak larut dalam berbagai persoalan. Para pemuda ingin melepaskan diri dari jerat kolonialisme dan komitmen kesatuan diantara mereka adalah syaratnya. Kita menyimpulkan, merekalah pionir kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya setelah organisasi nasionalis Boedi Oetomo.
Kedua spirit itu secara bersamaan dan terus saja menerus “Menjadi Indonesia”. Sebab itulah proses yang mesti dijalani. Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada masa umurnya masih 27 tahun: puncak pemudaannya.
Upaya menuju klimaks begitu mendebarkan dan menggetarkan nurani kemerdekaan tatkala Soekarno merumuskan dan membahas konsep pandangan hidup atau filsafat calon negara Indonesia di depan peserta rapat Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Daam rapat tersebut dipaparkanlah wajibnya Indonesia memiliki “sesuatu” yang universal:Weltanschauung, yang “kita semua setujui.
Semua usaha dan upaya tersebut, klimaksnya berujung dan berwujud yuridis formal pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agusutus 1945, yang apabila ditilik dari sisi peran pemuda sejak 1908, sejatinya merupakan formalisasi -meminjam istilah Aria Bima Sugiarto- apresiasi kultural dan politis dari spirit Sumpah Pemuda.

Bangga “Menjadi Indonesia”
Mereka yang menjadi penggagas dan pengikrar “Soempah Pemuda”, kemudian hari bahkan menjadi pemimpin bersih dan berwibawa di masa awal kemerdekaan. Tidak ada yang tidak mungin dilakukan bilamana pemuda bersatu melebur dalam cita-cita luhur, “Bangsa Yang Satoe”: Bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda digerakkan dan menggerakkan cita-cita itu, sebuah harapan, dan pula sebuah rancangan tentang “Tanah Air Yang Satoe”: Tanah Air Indonesia. Disuara-lantangkan bersama-sama dengan “Bahasa Yang Satoe, Bahasa Persatoean”: Bahasa Indonesia
Jejeran tujuh belas ribu pulau yang menggenapi Indonesia sudah barang tentu memiliki unsur pembentuk yang tidak sama. Berbeda antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, atau bahkan eksotisme Papua.
Ada tata simbolik yang mempersatukan para pemuda Indonesia, sekali lagi: Sumpah Pemuda beserta spiritnya. Harapan terbesarnya, spirit tersebut juga harusnya ditanamkan dan dimaknai kembali dalam kehidupan kekinian. Sebab pemuda hari ini, zaman dan kompleksitas masalahnya begitu jauh berbeda.

KERAJAAN GAYO (KINGDOM OF GAYO)



Kata linge terdiri dari dua kata; "ling" dan "nge". "Ling" dalam bahasa Indonesia artinya adalah suara, sedangkan "nge" dalam bahasa Indonesia artinya adalah nya, Jadi, apabila di gabungkan antara dua kata tersebut adalah suaranya. Yang maknanya adalah suaranya ada, tetapi manusia-nya tidak jelas, begitulah makna Kerjaan Linge sekarang ini. Artinya suara orang atau masyarakat setempat bahwa mengatakan Kerjaan Linge itu ada, tetapi Bukti-Bukti peninggalannya tidak ada. Kalaupun ada, itu semua berarti hanya sedikit dari yang diharapkan.



Latar Belakang Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M).
Pada saat Adi Genali membangun Negeri Linge, maka pada saat bersamaan juga diberikan pusaka tersebut kepadanya yang diberikan gelar "Cik Serule (Paman Serule)". Nama serule disini adalah salah satu perkampungan yang ada di Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah. Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule". Menjadi suatu perselisihan dan kebinggungan yang mendalam dari diri saya yang timbul, disebabkan oleh banyaknya perbedaan-perbedaan pendapat dari semua apa yang telah saya dapatkan dan saya baca.
Di situs lain dikatakan juga oleh Fajri, Kokasih Bakar dan Uwein mengatakan bahwa Reje Linge itu merupakan kekeberen istilah gayo dan berita rakyat dalam bahasa Indonesia, yang langsung mereka wawancarai dengan A. Djamil seorang Sejarawan Gayô.Dalam kekeberen ini diceritakan 2 Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô yaitu Kerajaan Lingë dan Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri pada abad ke 10, sedangkan Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya Kerajaan Pérlak (abad ke 8 s.d. 12 M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13, sedangkan masa kejatuhannya pada abad 12 M atau 13 M).Kerajaan Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau Turki, asal kata Lingë berasal dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé yang artinya suara yang terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam bernama Réjé Genali atau Tengku Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam bahasa Acih).Agama Islam yang dianut bisa dililhat dari bendera Kerajaan Lingë tersebut, dimana ada Syahadat di atas benderanya dan di bawahnya bernama 4 sahabat nabi, sedangkan warnanya belum diketahui karena sudah kusam, antara merah dan putih (bendera ini masih bisa dilihat dan disimpan di daerah Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja Lingë yang pergi ke Karô).

Raja Lingë mempunyai 4 anak, 3 laki-laki dan satu perempuan. seorang perempuan bernama Datu Beru, dan ketiga anak laki-lakinya bernama Djohan Syah, Ali Syah dan Malam Syah.Ketika besar khusus anak laki-lakinya akan disunat seperti halnya ajaran Islam, anak yang ke-3 bernama Ali Syah tidak bisa disunat karena kemaluannya tidak dimakan pisau. Hal ini tentu saja membuat malu. Hal ini menyebabkan ia meminta ijin kepada Raja Lingë untuk pergi ke daerah Karô.


Walau pada mulanya Raja tidak mengijinkan namun akhirnya dengan berat hati sebelum kepergian mereka dibagikan pusaka untuk anak laki-lakinya yaitu Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak Mujangut, Mérnu dan élém (Bendera Pusaka). Sedangkan Datu Béru memegang kunci khajanah Kerajaan Lingë.

Sistim pemerintahan
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari:
-REJE
-PETUE
-IMEM
-RAKYAT








Sumpah Pemuda adalah bukti otentik bahwa tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Oleh karena itu sudah seharusnya segenap rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.


SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :

- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928

Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di


 Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928.



Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :


Ketua              : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua    : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris        : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara       : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I      : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II    : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III   : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV   : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V    : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)



Peserta :

  1. Abdul Muthalib Sangadji
  2. Purnama Wulan
  3. Abdul Rachman
  4. Raden Soeharto
  5. Abu Hanifah
  6. Raden Soekamso
  7. Adnan Kapau Gani
  8. Ramelan
  9. Amir (Dienaren van Indie)
  10. Saerun (Keng Po)
  11. Anta Permana
  12. Sahardjo
  13. Anwari
  14. Sarbini
  15. Arnold Manonutu
  16. Sarmidi Mangunsarkoro
  17. Assaat
  18. Sartono
  19. Bahder Djohan
  20. S.M. Kartosoewirjo
  21. Dali
  22. Setiawan
  23. Darsa
  24. Sigit (Indonesische Studieclub)
  25. Dien Pantouw
  26. Siti Sundari
  27. Djuanda
  28. Sjahpuddin Latif
  29. Dr.Pijper
  30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
  31. Emma Puradiredja
  32. Soejono Djoenoed Poeponegoro
  33. Halim
  34. R.M. Djoko Marsaid
  35. Hamami
  36. Soekamto
  37. Jo Tumbuhan
  38. Soekmono
  39. Joesoepadi
  40. Soekowati (Volksraad)
  41. Jos Masdani
  42. Soemanang
  43. Kadir
  44. Soemarto
  45. Karto Menggolo
  46. Soenario (PAPI & INPO)
  47. Kasman Singodimedjo
  48. Soerjadi
  49. Koentjoro Poerbopranoto
  50. Soewadji Prawirohardjo
  51. Martakusuma
  52. Soewirjo
  53. Masmoen Rasid
  54. Soeworo
  55. Mohammad Ali Hanafiah
  56. Suhara
  57. Mohammad Nazif
  58. Sujono (Volksraad)
  59. Mohammad Roem
  60. Sulaeman
  61. Mohammad Tabrani
  62. Suwarni
  63. Mohammad Tamzil
  64. Tjahija
  65. Muhidin (Pasundan)
  66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
  67. Mukarno
  68. Wilopo
  69. Muwardi
  70. Wage Rudolf Soepratman
  71. Nona Tumbel


Catatan :
Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya"
gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.
1.      Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat
di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah
Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie
Kong Liong.
2.      2. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau
Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang
yaitu :
a. Kwee Thiam Hong
b. Oey Kay Siang
c. John Lauw Tjoan Hok
d. Tjio Djien kwie



MEMPERBARUI SPIRIT SUMPAH PEMUDA
Rasanya kita perlu untuk menjejak kembali hakikat persoalan pemuda Indonesia. Banyak yang telah dicatat dengan tinta emas oleh sejarah masa lalu. Sudah saatnya, untuk mengingatkan mereka kembali –termasuk saya- pada peristiwa bersejarah nan menggugah yang terjadi puluhan tahun silam: Sumpah Pemuda.Niatan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa merdeka dan berdaulat sudah bulat dalam dada pemuda ketika itu. Meskipun Indonesia masih berupa wilayah imaji dari Hindia-Belanda. Sumpah Pemuda memang tidak diformulasikan untuk waktu sempit 28 Oktober 1928 saja. Visi Sumpah Pemuda jauh ke depan melampaui masanya.Romantisme histori bukanlah tujuan, tetapi spirit yang terus berkobar kita coba cecap bersama. Pertama, spirit semangat untuk bersatu dalam perbedaan. Para pemimpin Jong dan berbagai pemimpin organisasi kepemudaan pada ketika itu tidak menggiring kesukuaan dan asal daerah. Identitas ditanggalkan untuk sebuah harapan baru. Kedua, spirit untuk tidak larut dalam berbagai persoalan. Para pemuda ingin melepaskan diri dari jerat kolonialisme dan komitmen kesatuan diantara mereka adalah syaratnya. Kita menyimpulkan, merekalah pionir kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya setelah organisasi nasionalis Boedi Oetomo. Kedua spirit itu secara bersamaan dan terus saja menerus “Menjadi Indonesia”. Sebab itulah proses yang mesti dijalani. Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada masa umurnya masih 27 tahun: puncak pemudaannya. Upaya menuju klimaks begitu mendebarkan dan menggetarkan nurani kemerdekaan tatkala Soekarno merumuskan dan membahas konsep pandangan hidup atau filsafat calon negara Indonesia di depan peserta rapat Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Daam rapat tersebut dipaparkanlah wajibnya Indonesia memiliki “sesuatu” yang universal: Weltanschauung,  yang  “kita semua setujui”.  Semua usaha dan upaya tersebut, klimaksnya berujung dan berwujud yuridis  formal pada Proklamasi  Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agusutus 1945, yang apabila ditilik dari sisi peran pemuda sejak 1908, sejatinya merupakan  formalisasi -meminjam istilah Aria Bima Sugiarto- apresiasi kultural dan politis dari spirit Sumpah Pemuda.

BANGGA’’ MENJADI INDONESIA’’!
Mereka yang menjadi penggagas dan pengikrar “Soempah Pemuda”, kemudian hari bahkan menjadi pemimpin bersih dan berwibawa di masa awal kemerdekaan. Tidak ada yang tidak mungin dilakukan bilamana pemuda bersatu melebur dalam cita-cita luhur, “Bangsa Yang Satoe”: Bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda digerakkan dan menggerakkan cita-cita itu, sebuah harapan, dan pula sebuah rancangan tentang “Tanah Air Yang Satoe”: Tanah Air Indonesia. Disuara-lantangkan bersama-sama dengan “Bahasa Yang Satoe, Bahasa Persatoean.”: Bahasa Indonesia.
Jejeran tujuh belas ribu pulau yang menggenapi Indonesia sudah barang tentu memiliki unsur pembentuk yang tidak sama. Berbeda antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, atau bahkan eksotisme Papua.Ada tata simbolik yang mempersatukan para pemuda Indonesia, sekali lagi:  Sumpah Pemuda beserta spiritnya. Harapan terbesarnya, spirit tersebut juga harusnya ditanamkan dan dimaknai kembali dalam kehidupan kekinian. Sebab pemuda hari ini, zaman dan kompleksitas masalahnya begitu jauh berbeda. Segenap unsur yang partikularis (sempit) harus dilebur ke dalam sesuatu yang universalis (luas). Beragam perbedaan itu disalinrupakan menjadi semangat membangun Indonesia. Melihat sisi lain Indonesia dari sisi optimisme pemuda dengan gebrakannya.
Jika kita lihat kini realita dan konteks kekiniannya, itulah cita-cita di mana kita mendambakan sebuah negeri yang aman, damai, dan sejahtera. Tempat orang yang beragam -tidak seragam- memutuskan untuk tak saling melempari bom, enggan melempari rumah ibadah pemeluk agama lain dengan batu, untuk tidak saling berlomba mengelabui rakyat dengan janji-janji palsu sebelum pemilu, atau untuk tidak mencuri uang rakyat dengan korupsi di pemerintahan.Kita mengapresiasi, Pemuda Indonesia yang hari ini sibuk dengan berbagai macam aktvitas yang mempersatukan. Sehingga, pada masa nanti ketika Aceh, Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, atau Papua disebut, kita akan berseru dengan lantang: I  N  D O N E S I A. Dengan suara yang bergetar karena ada dignity -harga diri, yang bisa mengangkat mereka. Yang membuat mereka bangga. Bangga karena mereka bersatu. Harga diri itu adalah pemaknaan sebuah Sumpah Pemuda yang diikrarkan berpuluh-puluh tahun yang lalu itu.



Sekarang waktunya mencoba fokus mencari solusi ruwetnya permasalahan bangsa yang belum mau terurai. Pemuda hari ini harus melebihkan upaya dan memimalkan keluh. Sehingga sebutan “Indonesia Negara Gagal” tidak lagi menyita perhatian kita. Mari bekerja…..